BAB II
PEMBAHASAN
A. Konsep Pendidikan Nilai
Secara filosofi Socrates
menegaskan bahwa pendidikan
merupakan proses pengembangan
manusia ke arah kearifan (Wisdom), pengetahuan
(knowledge), dan etika (conduct). Oleh karenanya membangun aspek kognisi,
afeksi, dan psikomotor secara berimbang
dan berkesinambungan adalah
nilai pendidikan paling
tinggi (Elmubarok: 2008).
Sebagai suatu usaha atau proses yang ditujukan untuk membina kualitas
sumber daya manusia seutuhnya agar dapat melakukan perannya dalam kehidupan
secara fungsional dan optimal. Secara
sederhana, pendidikan dapat dikatakan sebagai upaya memanusiakan manusia.
Keterkaitan dengan nilai harus dipahami
terlebih dahulu. Nilai dapat diartikan sebagai suatu perilaku-perilaku
yang diinginkan dan dimanifestasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Nilai-nilai tersebut harus
mampu membawa manusia menghadapi kehidupan
masyarakat yang majemuk
dengan beragam perbedaan. Matapelajaran-matapelajaran yang mengajarkan nilai
dapat dikatakan merata.
Namun, hal itu tidak dapat
digunakan dengan baik
oleh guru. Seperti matapelajaran sejarah,
agama, bahasa Indonesia,
dll. Dalam hal
ini nilai harus menjadi
inti dari pendidikan
itu sendiri. Sebab, hal
yang paling penting
di dunia ini
adalah nilai moral
(afeksi) manusia. Dengan
kata lain, bukan
berarti mengecualikan intelejensi.
Pembelajaran IPS dengan segala potensinya dapat melirik pendidikan nilai
sebagai suatu strategi, terutama aspek afektif.
Penanaman dan pengembangan nilai-nilai
pada peserta didik
agar menyadari dan
mengalami nilai-nilai serta menempatkannya secara integral dalam keseluruhan hidupnya .Melalui
pendidikan nilai, pembelajaran IPS menghidupkan
ranah afeksi peserta didik. Hal
itu berarti dalam proses belajar mengajar perkembanganperilaku anak dan
pemahamannya mengenai nilai-nilai moral seperti keadilan, kejujuran, rasa
tanggung jawab, serta kepedulian terhadap orang lain merupakan elemen yang
tidak dapat dipisahkan dari kehidupannya.
Di sisi lain, pendidikan nilai
bisa berarti membimbing, menuntun, dan memimpin. Filosofi ini
lebih mengutamakan proses pendidikan yang tidak
terjebak pada banyaknya materi yang dipaksakan kepada peserta didik dan
harus dikuasai. Atmosfer pendidikan mendapat
tekanan dan peserta
didik diberi keleluasaan
mengeskplor diri dan
dunianya sendiri sehingga
ide,kreativitas,dan keterampilan diri berkembang sebagai bagian dari
masyarakatnya.[1]
Pada hakikatnya, nilai merupakan sesuatu yang berharga. Nilai yang
dimaksud disini adalah seperangkat keyakinan atau prinsip perilaku yang telah
mempribadi dalam diri seseorang atau kelompok masyarakat tertentu yang
terungkap ketika berpikir atau bertindak.[2]Menurut
Bertens nilai merupakan sesuatu yang menarik bagi kita, sesuatu yang kita
cari,sesuatu yang menyenangkan, sesuatu yang disukai dan diingkari, singkatnya
sesuatu yang baik. Menurut Max Scheler nilai merupakan suatu “kenyataan” yang
tersembunyi di balik kenyataan-kenyataan lain.[3]
Menurut David Krech dan kawan-kawan mengemukakan
“nilai adalah keyakinan tentang apa yang dikehendaki atau yang benar dan apa
yang tidak dikehendaki atau yang salah. Memperhatikan konsep nilai di atas
bahwa nilai itu hidup di alam pikiran anggota masyarakat yang mendukung sesuatu
kebudayaan dengan benar-salah, baik-buruk, tepat-tidak dan sebagainya.
Koencaraningrat menegaskan bahwa nilai ini
merupakan pedoman bagi kehidupan masyarakat. Nilai yang ada dalam masyarakat
merupakan ciri bahwa manusia merupakan makhluk yang beradab,karena mempunyai
nilai dalam menata kehidupan. Tinggi rendahnya suatu masyarakat akan tercermin
dari nilai-nilai yang ada di masyarakat itu sendiri yang digunakan atau
dilaksanakan oleh orang-orang sebagai anggota masyarakat itu sendiri.[4]
B.
Dimensi Nilai
Nilai dapat dibedakan atas nilai subtantif dan nilai
procedural.[5]
1. Nilai Substansi
Nilai substansi adalah keyakinan yang telah dipegang oleh seseorang dan
umumnya hasil belajar; bukan sekedar menanamkan atau menyampaikan informasi
saja. Dalam mempelajari nilai substansi, para siswa perlu memahami
proses-proses, lembaga-lembaga, danaturan-aturan untuk memecahkan konflik dalam
masyarakat demokratis.Dengan kata lain, siswa perlu mengetahui bahwa ada
keragaman nilai dalam mesyarakat dan mereka perlu mengetahui isi nilai dan
implikasi dari nilai-nilai tersebut.[6]
Manfaat lain dari belajar nilai subtantif adalah siswa akan menyatakan
bahwa dirinya memiliki nilai tertentu. Guru harus menjelaskan bahwa siswa
membawa nilai yang beragam ke kelas sesuai denan latar keluarga, agama, atau
budaya. Selain itu, guru perlu menyadari pula bahwa nilai yang dia anut tidak
semuana berlaku secara universal.Program pembelajaran ips hendaknya memberikan
kesempatan kepada siswa untuk mengungkapkan, merefleksi, dan mengartikulasikan
nilai-nilai yang dianutnya. Proses ini tergantung pada pada nilai-nilai procedural
di kelas. Siswa hendaaknya memiliki hak mengambil posisi nilai mana yang akan
dianut tanpa paksaan atau menangguhkan keputusan dan tetap tidak mengambil
keputusan. Dengan kata lain, siswa hendaknya didorong untuk bersiap diri
membenarkan posisinya, mendengarkan kritikan yang ditujukan terhadap dirinya
dan atau mengubah keputusannya bila ada pertimbangan lain.[7]
2. Nilai Prosedural
Nilai-nilai prosedural yang perlu dilatih atau dibelajarkan antara nilai
kemerdekaan, toleransi, kejujuran, menghormati kebenaran dan menghargai orang
lain. Pembelajaran yang mengaitkan pendidikan nilai ini secara eksplisit atau
implicit hendaknya telah ada dalam langkah-langkah atau proses pembelajaran dan
tidaklah menjadi bagian dari konten tersendiri. Dengan kata lain, nilai-nilai
ini tidak perlu dibelajarkan secara terpisah. Selain itu, masyarakat demokrasi
yang ideal harus mampu mengungkapkan nilai-nilai pokok dalam proses
pembelajaran bukan bukan hanya teorika semata bahkan harus menghormati harkat
dan martabat manusia, berkomitmen terhadap keadilan social, dan memperlakukan manusia
sama kedudukannya di depan hukum.[8]
Nilai-nilai procedural yang perlu dilatih atau dibelajarkan antara nilai
kemerdekaan, toleransi, kejujuran, menghormati, kebenaran, dan menghargai orang
lain. Nilai-nilai kunci ini merupakan nilai yang menyokong masyarakat
demokratis, seperti toleransi terhadap pendapat yang berbeda, menghargai bukti
yang ada, kerja sama, dan menghormati pribadi orang lain. Pembelajaran ips
dimaksudkan untuk mengembangkan partisipasi siswa secara efektif dan diharapkan
semakin memahami kondisi masyarakat Indonesia yang beraneka ragam, maka siswa
perlu mengenal dan berlatih menerapkan nilai-nilai tersebut.Jika ingin berhasil
dalam menerapkan nilai secara efetif, maka nilai-nilai tersebut di atas
seyogianya dapat dibelajarkan secara terpadu dalam setiap mata pelajaran.[9]
C.
Pendidikan Nilai Dalam Pembelajaran
IPS
Sesungguhnya pendidikan IPS
dengan pendidikan nilai
adalah bagai dua
sisi mata uang logam. Sangat
banyak kesempatan untuk saling
memadukan dalam pembelajaran
IPS dan nilai.
Dalam pendidikan nilai
kita menginginkan munculnya
kesadaran pelaksanaan nilai-nilai positif dan menghindarkan nilai-nilai
negatif. Nilai-nilai positif tersebut adalah : amal saleh, amanah, antisipatif,
baik sangka, kerja keras, beradab dan lain-lain.
Adapun nilai-nilai negatif
yang seharusnya dihindari
adalah anti resiko,
boros, bohong, buruk
sangka, curang, ceroboh, cengeng, dengki, egois, fitnah dan lain sebagainya.
Perwujudan nilai-nilai tersebut
dapat dilakukan guru
melalui pembelajaran IPS. Nilai-nilai yang dapat ditanamkan kepada
peserta didik seperti cinta tanah air,
toleransi, memahami serta
menerima perbedaan, menghargai
perjuangan pahlawan.Nilai-nilai tersebut
diharapkan meresap ke sisi
afeksi. Terlihat dari
pertemanan peserta didik, respon peserta didik terhadap lingkungan
interaksinya, menjaga kebersihan, meneladani sifat-sifat bijak para pahlawan,
dan lain sebagainya.
Keteladaan merupakan syarat utama dalam suatu proses pendidikan tidak ada
makna pendidikan jika tidak ada keteladanan. Sebagaimana dikemukakan oleh
suyanto yang menyatakan bahwa pendidikan memiliki tiga proses yang saling
memengaruhi dan saling terkait satu sama lain: (1) Sebagai proses pembentukan
kebiasaan (habit formation), (2) Sebagai proses pengajaran dan pembelajaran
(teaching and learning process), (3) Sebagai proses keteladanan yang dilakukan
oleh para guru (role model).
Sayangnya, dalam dunia pendidikan dan di masyarakat, saat ini anak-anak
sedang mengalami krisis keteladanan. Hal ini terjadi karena sedikitnya media
massa yang mengangkat tema tokoh-tokoh teladan bagi anak-anak.
Tayangan-tayangan televisi misalnya, didominasi acara hiburan dalam berbagai
variasinya.Acara sinetron atau infotainment, semestinya dapat memberikan contoh
kehidupan yang ideal secara utuh.Sementara itu porsi penanaman akhlak mulia
melalui contoh pribadi pada pelajaran-pelajaran di sekolah juga masih rendah,
akibatnya berkembang generasi yang lebih bangga kepada pahlawan-pahlawan
khayalan.
Dalam hal teori belajar sosial menekankan perlunya imitation (peniruan)
terhadap proses perkembangan soial dan moral peserta didik. Lewat pengamatan
apa yang dilihat, didengar, dan dirasakan, seorang anak dapat menirunya, karena
itu teramat penting bagi seorang pendidik, untuk memainkan peran sebagai model
atau tokoh yang menjadi contoh dan diteladani oleh anak didiknya.
Teori keteladanan yang telah dikemukakan di atas, kiranya dapat digunakan
untuk merealisasikan tujuan pendidikan lewat keteladanan dan peniruan yang baik
kepada anak didik, agar memilki karakter(akhlak) yang baik dan benar.
Keteladanan memberikan konstribusi yang amat besar dalam pendidikan, karena itu
seorang pendidik hendaknya berprilaku teladan seperti yang dimiliki oleh
seorang rasul atau nabi, disebabkan pada diri gurulah anak didik akan mencontoh
dan meniru apa pun yang dilakukanoleh gurunya.
Dalam kondisi krisis keteladanan ini, sekolah dapat menjadi basis penting
bagi anak untuk menemukan keteladanan. Maka guru sudah selayaknya menjdi figur
kedua setelah figure orang tua bagi peserta didik untuk memenuhi kebutuhan ini.
Untuk itu, ada kiat-kiat yang bisa dilakukan oleh guru agar menjadi pribadi
teladan dalam proses pembelajaran untuk membentukan akhlak atau karakter pada
peserta didik. Guru hendaknya memperkenalkan tokoh-tokoh teladan, yaitu dengan
banyak membaca sirah nabi, juga profil orang-orang saleh dan para pahlawan,
baik tokoh local, nasional maupun tokoh dunia. Internalisasi bacaan dan
keteladanan inilah yang akan membentuk pribadi terpuji dan menjadi salah satu
panutan bagi anak.
[1]Jurnal Strategi Pembelajaran Berbasis Pendidikan Nilai Dalam Pembelajaran
Ips Di Sekolah, Universitas Negeri Medan. Hlm.32-33
[2]Sapriya, Pendidikan
IPS, (Bandung: PT RemajaRosdakarya, 2014), hal 53
[4]
Departemen
Agama, Pendidikan IPS di Sekolah Dasar, (Jakarta: DitjenBinbaga Islam, 2001), hal 81-8
[5]Ahmad
Susanto, Pengembangan Pembelajaran IPS, (Jakarta: Prenada Media, 2014),
hal 29
[6]
Sapriya, Op.Cit,
hal 54
[7] Ahmad Susanto,Op.Cit, hal 29
[8]Sapriya, Op.Cit,
hal 54-56
Comments
Post a Comment