Tidak tahu kenapa rasanya bahagia banget melewati jalan ini. Jalan
trotoar menuju kampusku, ini memang jalan biasa pada umumnya beralaskan batako
dengan dihiasi tanaman bunga-bunga kecil dikanan dan kirinya. Rasanya setiap
hari aku ingin menyapanya dan berkata “apa kabar kalian ? kuharap kalian
baik-baik saja, itu juga harapan dari seseorang yang menanam kalian”
Berawal pada bulan November
“bu, kenapa ayah jarang sarapan bareng kita ? memangnya cari
pekerjaan harus sepagi itu ?” tanyaku pada ibu yang sedang menyiapkan sarapan.
“Ibu juga tidak tahu. Ibukan belum pernah mencari pekerjaan, yang ada setiap
hari diberi pekerjaan sama kalian” jawab ibu dengan senyum manisnya. “Nanti
kalau aku sudah besar, ibu boleh minta gaji sama adik. Berapapun akan adik
beri” celetuk adiku yang sudah memegang gelas susunya. Mendengar ucapannya aku
merasa geli, memangnya tumbuh dewasa semudah itu. “Gak usah ngayal, belum tentu
juga kamu punya banyak uang uu” aku melemparkan ujung rotiku. “Kakak ! gak boleh
seperti itu, di aminkan saja. Toh nanti kalau adikmu menjadi orang sukses kamu
juga yang bangga” merasa dibela, adikku menjulurkan lidahnya kearahku. “Ibu gak
minta apa-apa saat kalian dewasa nanti, ibu ingin kalian saling menjaga dan
jangan lupakan ayah dan ibu. Nah sekarang sarapannya dihabiskan setelah itu
berangkat sekolah” lanjut ibu yang masih merapihkan tas milik adikku.
Sejak ayah terkena PHK dia sering murung, setengah bulan kemudian
dia jarang sarapan bareng kluarga. Aku penasaran dengan apa yang ayah lakukan
diluar sana. Rasanya ingin sekali menanyakannya, tapi ayah selalu pulang larut
malam dengan wajah terlihat letih, aku tidak enak jika harus menanyakan hal
yang tidak begitu penting. Sebelum ayah
di PHK, aku tidak merasa kekurangan bahkan uang jajanku bisa untuk jalan-jalan.
Tapi sekarang aku sering berfikir untuk berhenti kuliah dan membantu ayah
mencari uang. Tapi ibu selalu menentangku, kata ibu ayah juga akan melarang
keras jika aku berhenti kuliah.
“bu ? uangnya sudah ada ? tinggal dua minggu lagi pendaftaran KKL
ditutup” tanyaku pada Ibu yang sedang mencuci piring didapur. “Pinjem uang
kakak dulu ada ?” tanya ibu. “pinjem aku ? aku uang dari mana bu ? jajan aja
sekarang aku jarang, jalan-jalan ke mall juga jarang itu karena uang yang hanya
cukup buat naik angkot. Ibu gak kasihan sama aku, aku sudah ngalah seperti itu
masa KKL aku harus ikut tahun depan kan malu bu, ayolah bu bilangin sama ayah
uangnya kapan mau diberikan ke aku” rengekku sambil memegang lengan ibuku. “oke
! kalau seminggu lagi uangnya belum ada, semester depan aku gak mau kuliah
lagi, aku mau cari kerja saja” tegasku sambil menyilangkan kedua tanganku.
Ibu langsung mematikan keran airnya dan mencipratkannya dengan
keras seperti sedang marah namun ia tahan. Ia menatapku dalam, kemudian
meninggalkanku menuju panci yang mengeluarka bunyi air mendidih. Aku hanya bisa
menunduk dan menarik nafas panjang melihat tatapan ibu.
“kak ini baca puisiku, bagus gak ?” aku mengambil buku yang ia
sodorkan padaku. Terlihat tulisan “untuk superheroku”. Dia bilang akan membacakan puisi tersebut
didepan kelas saat hari ayah nanti kerena ayah dari semua sisiwa akan diundang
kesekolahan. Aku menyembunyikan ketidaksetujuanku terhadap puisi tersebut
karena sedang kesal dengan ayah, aku mengelus kepala adiku “semoga kelak kamu menjadi ayah seperti dalam
puisimu”
Disiang hari yang cukup panas, aku mendengar adiku menangis. Entah
apa yang membuatnya menangis sampai ia terdengar sesenggukan. Aku yang masih
berdiri di depan rumah langsung berlari menuju kamar adikku. Aku memeluknya dan
mencoba menenangkannya. “teman-teman mengejekku karena tadi ayah tidak datang
kesekolah, mereka bilang ayah tidak sayang sama aku makanya ayah tidak
menyempatkan waktu untuk datang kesekolah” dia kembali sesenggukan setelah
menceritakan alasannya menangis.
Aku sangat kesal, aku juga ingin marah sama ayah. Kenapa ayah
sejahat itu, mulai dari tidak pernah sarapan bareng, tidak pernah mengucapkan
selamat malam sebelum tidur sampai tidak datang ke acara adikku. Apa yang
sebenarnya yang ia lakukan diluar sana, senang-senang untuk dirinya sendiri ?
ayah macam apa itu ? aku mengepalkan tanganku sekuat mungkin, rasanya ingin
memukul sesuatu. Aku mencoba menenangkan adikku “udah, kamu jangan nangis ya,
disini kan ada kakak yang selalu sayang sama kamu”
Suatu pagi, aku sengaja tidak sarapan. Aku mengikuti ayah pergi
tapi aku kehilangan jejaknya. Setelah pulang sekolah aku kedapur dan melihat
ada 3 piring kotor. Pikirku mungkin tadi ada tamu, tapi aku teringat sesuatu. Setiap
siang ada 3 piring kotor padahal aku tidak pernah makan siang dirumah. Juga
dalam puisi adiku ia menulis “aku senang bisa membawakanmu energi setiap
pagi”. Apa maksudnya ? apa ada sesuatu yang aku tidak tahu ? Aiish
Malamnya, hujan turun begitu lebat petir menyambar menambah
ketegangan malam itu. Aku memberanikan diri untuk masuk kedalam kamar orang
tuaku. Saat aku membuka pintu begitu kasar ayah dan ibu yang sedang duduk
menatapku penuh tanda tanya. Aku balik menatap mereka, mataku tiba-tiba tertuju
pada luka yang ada di lengan ayah. Luka itu terlihat baru, ibu juga seperti
baru selesai memberi obat pada luka tersebut.
“kamu belum tidur ? ayah kangen sama kamu sini duduk samping ayah”
ucapan ayah membuatku merinding, rasanya sudah lama aku tidak mendengar suara
itu. “aah jangan lengah, kamu harus ingat tujuanmu malam ini !” rasanya ada
yang membisikanku dengan penuh emosi. Aku mencoba berjalan menuju ayah,
langkahku pelan penuh keraguan.
-gelap-
Tiba-tiba lampu padam. “ayah…” terdengar teriakan adikku dari dalam
kamarnya, saat kita mencoba mencari penerang untuk menuju kamarnya tiba-tiba
dia sudah berada di depan pintu kamar ayah ibu. Akhirnya kita putuskan untuk
berdiam dikamar tersebut. Ibu mulai mencairkan suasana yang terasa tegang
dengan mengajak adiku bermain bayangan yang ditimbulkan oleh cahaya lilin.
“bayangan itu menggambarkan benda yang terkena sinar ya bu ? tapi terkadang
orang salah menebak bayangan yang muncul dengan benda aslinya” ucap adiku
membuatku heran, anak TK bisa berkata seperti itu.
“iya. namanya juga manusia tempatnya salah dan lupa, yang penting
jangan lupa minta maaf kalau sudah tahu salah” jawab ibu mengarah padaku.
Kemudian adik memeluk ayah dengan manja “ayah, jalan yang ayah buat sudah jadi ?
kapan aku bisa melewatinya ? ayah pasti capek, tiap pagi bersihin jalan,
siangnya membuat jalan, sorenya menyiram tanaman sepanjang jalan. Sini biar
adik pijitin” mendengar ocehannya, tiba-tiba mataku terasa panas seperti ada
yang ingin keluar dari mataku tapi sebisa mungkin aku menahannya. Apa yang baru
saja akan aku lakukan ? apa yang selama ini aku fikirkan ? inikah balasan anak
kepada seorang ayah yang sudah bekerja keras. Aah bodohnya aku, sebagai anak,
kenapa aku tidak perhatian dengan ayah sendiri.
“ayah, jadi selama ini..” aku tidak sanggup meneruskan ucapanku,
aku hanya bisa menggigit bibir bawahku. “iya, semuanya demi kalian” jawab ibu.
Seketika aku memeluk ayah mengabaikan air mata yang terus mengalir dipipiku.
“maafkan aku ayah, aku bodoh aku jahat sama ayah”. Ayah menepuk pundaku pelan
“tidak apa-apa, bagi ayah kalian tidak pernah salah karena kalian masih
anak-anak. Ayah senang bisa membersihkan jalan, membuat jalan yang nantinya
akan kalian lewati menuju sekolah dan menyirami tanaman di taman. Setidaknya
ayah sudah mencoba memperindah dan mempermudah jalan kalian menuju sekolah
karena hanya itu yang ayah bisa lakukan saat ini”. Air mataku semakin deras
seakan tidak mau kalah dengan hujan yang turun diluar. Aku teringat semua yang
aku lakukan, hal-hal yang sia-sia bahkan menyia-nyiakan uang yang ayah cari
susah payah.
Terimakasih ayah telah memberiku jalan terindah. Aku masih
tersenyum melewati jalanan yang dulu ayah buat.
Comments
Post a Comment