KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena berkat rahmat,
taufik dan hidayahnya penulis dapat menyelesaikan makalah “Studi Kritis tentang Tasawuf”.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada Bapak Miftahul
Huda, M.Ag selaku dosen pengampu mata kuliah Ilmu tasawuf, dan kepada
perpustakaan STAIN Pekalongan sebagai sarana mencari bahan referensi, serta
tidak lupa kepada semua pihak yang telah
membantu dalam pembuatan makalah ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu
persatu.
Makalah ini
disusun untuk menambah pengetahuan studi kritis tentang tasawuf. Penulis
berharap makalah ini dapat bermanfaat untuk penulis khususnya dan pembaca pada
umumnya.Penulis menyadari makalah ini jauh dari kata sempurna, untuk itu kritik
dan saran yang membangun dari pembaca sangat penulis butuhkan untuk perbaikan
kedepannya.
Akhir kata penulis ucapkan terimakasih banyak
Pekalongan, Mei 2016
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .................................................................................. 2
DAFTAR ISI
............................................................................................... 3
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................... 4
A. Latar Belakang Masalah.................................................................... 4
B. Rumusan masalah............................................................................... 4
C. Tujuan Penulisan................................................................................. 4
BAB II
PEMBAHASAN.............................................................................. 5
A.
Prinsip-Prinsip Dasar Ajaran Tasawuf yang
Menyimpang
dari Petunjuk
Al-Qur;an dan As-sunnah .......................................... 5
B. Kritik terhadap Aliran-Aliran dalam Ajaran Tasawuf........................ 7
C. Contoh Penyimpangan dan Kesesatan dalam Ajaran Tasawuf.......... 9
D. Latar Belakang Kritik terhadap Tasawuf........................................... 10
BAB III PENUTUP...................................................................................... 12
A. Kesimpulan......................................................................................... 12
B. Kritik dan Saran................................................................................. 12
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................... 13
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Tasawuf
– yang di kalangan Barat dikenal dengan mistisme Islam- merupakan salah satu
aspek (esoteric) Islam, sebagai perwujudan dari ihsan yang
berarti kesadaran adanya komunkasi dan dialog langsung seorang hamba dengan
Tuhan-Nya. Esensi tasawuf sebenarnya telah ada sejak masa kehidupan Rasulullah
SAW. Tasawuf merupakan hasil kebudayaan islam sebagaimana ilmu-ilmu keislaman
lainnya, seperti fiqh dan ilmu tauhid. Sehingga ilmu tasawuf tidak terlepas dari
berbagai kritikan dari berbagai golongan yang menentangnya.
Para
penentang ini, menganggap bahwa tasawuf bukan ajaran yang berasal dari
Rasulullah SAW. dan bukan pula ilmu warisan dari para sahabat. Mereka
menganggap bahwa ajaran tasawuf ini merupakan ajaran sesat dan menyesatkaN. Disini
kami akan mencoba membahas tentang studi kritis terhadap ilmu tasawuf.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apa
saja prinsip-prinsip dasar ajaran tasawuf yang menyimpang dari petunjuk
al-Qur’an dan as-sunnah ?
2.
Bagaimana
kritik terhadap aliran-aliran dalam tasawuf ?
3.
Apa
saja contoh penyimpangan dan kesesatan ajaran tasawuf ?
4.
Apa
yang menjadi latar belakang kritik terhadap tasawuf ?
C.
Tujuan
Penulisan
1.
Mengetahui
Prinsip-Prinsip Dasar Ajaran Tasawuf yang Menyimpang dari Petunjuk Al-Qur’an
dan As-sunnah.
2.
Mengetahui
Kritik terhadap Aliran-Aliran dalam Ajaran Tasawuf.
3.
Mengetahui
Contoh Penyimpangan dan Kesesatan Ajaran Tasawuf.
4.
Mengetahui
Latar Belakang Kritik terhadap Tasawuf
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Prinsip
– Prinsip Dasar Ajaran Tasawuf yang Menyimpang dari Petunjuk Al-Qur’an dan As-sunnah
Para
ahli tasawuf memiliki prinsip dasar dan metode khusus dalam memahami dan
menjalankan agama ini. Metode tasawuf yang dikenal masyarakat luas, yang banyak
orang mengira bahwa metode ini merupakan yang paling efektif untuk mencapai
hidayah dan keselamatan.[1] Mereka
membangun keyakinan sendiri dengan istilah dan simbol-simbol, dapat kita
simpulkan sebagai berikut.
Pertam
mereka membatasi ibadah hanya pada aspek mahabbah
(kecintaan) saja dan mengesampingkan aspek-aspek lainnya, seperti aspek khauf
(rasa takut) dan raja’ (harapan). Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
berkata, “kebanyakan orang yang menyimpang (dari jalan Allah SWT.), orang-orang
yang mengikuti ajaran bid’ah berupa sikap zuhud dan ibadah-ibadah yang tidak
dilandasi ilmu dan tidak sesuai dengan petunjuk dari al-Qur’an dan as-Sunnah,
terjerumus dalam kesesatan, seperti yang terjadi pada orang-orang Nasrani yang
mengaku-ngaku mencintai Allah SWT., tetapi bersamaan dengan itu, mereka
menyimpang dari syariat-Nya dan enggan untuk ber-mujahaddah (bersungguh-sungguh)
dalam menjalankan agama-Nya, dan penyimpangan lainnya.[2]
Kedua,
umumnya dalam menjalankan agama dan melaksanakan ibadah tidak
berpedoman pada al-Qur’an dan as-Sunnah, tetapi yang mereka jadikan pedoman
adalah bisikan jiwa, perasaan, dan ajaran yang digariskan oleh pinpinan mereka,
berupa thariqat-thariqat bid’ah, berbagai macam zikir dan wirid yang
mereka ciptakan sendiri, dan tidak jarang mengambil pedoman dari cerita-cerita
(yang tidak jelas kebenarannya), mimpi-mimpi, bahkan hadis-hadis palsu untuk
membenarkan ajaran dan keyakinan mereka.
Ketiga,
termasuk doktrin ajaran tasawuf adalah keharusan berpegang teguh
dan menetapi zikir dan wirid yang ditentukan dan diciptakan oleh guru-guru thariqat
mereka. Adapun zikir yang tercantum dalam al-Qur’an dan as-Sunnah mereka
namakan dengan “zikirnya orang-orang umum”, kalimat (La Ilaha
Illallah), adapun “zikirnya orang-orang khusus” adalah kata tunggal
“Allah” dan “zikirnya orang-orang khusus yang lebih khusus adalah
kata “Huwa/Dia.”
Keempat,
sikap ghuluw (berlebihan atau ekstrem) orang-orang ahli
tasawuf terhadap orang-orang yang mereka anggap wali dan guru-guru thariqat mereka.
Hal ini karena di antara prinsip akidah Ahlu Sunnah wal Jamaah adalah
berwala (mencintai atau berloyalitas) kepada orang-orang yang dicintai
Allah ‘azza wa jalla dan membenci musuh musuh Allah ‘azza wa jalla.[3]
Allah ‘azza wa jalla berfirman:
Ø¥ِÙ†َّÙ…َا
ÙˆَÙ„ِÙŠُÙƒُÙ…ُ الله ÙˆَرَسُÙˆْÙ„ُÙ‡ُ, ÙˆَالَّØ°ِينَ Ø£َÙ…َÙ†ُÙˆْا الَّØ°ِينَ ÙŠُÙ‚ِيمُونَ
الصَّÙ„َوةَ ÙˆَÙŠُؤْتُونَ الزَّÙƒَوةَ ÙˆَÙ‡ُÙ…ْ رَÙƒِعُونَ
Artinya:
“Sesungguhnya penolongmu
hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat
dan mendirikan zakat, seraya tunduk (kepada Allah).” (QS Al-Ma’idah [5]: 55)
Kelima,
faham tasawuf yang mendekatkan diri kepada Allah ‘azza wa jalla dengan
nyanyian, tarian, tabuhan rebana, dan tepuk tangan, yang semua ini mereka
anggap sebagai amalan ibadah kepada Allah ‘azza wa jalla. Imam Ahmad
ketika ditanya (tentang perbuatan ini), ia menjawab, “Aku tidak menyukainya
(karena) perbuatan ini adalah bid’ah”. Menurut mereka, mendengarkan music dan
berdansa merupakan sarana berkomunikasi dengan Allah.[4]
Demikian pula imam-imam besar lainnya tidak menyukai perbuatan ini. Para
syekh (ulama) yang saleh tidak mau menghadiri (menyaksikan) perbuatan ini,
seperti Ibrahim bin Adham, Fudhail bin Iyadh, Ma’ruf Al-Karkhi, Abu Sulaiman
Ad-Darani, Ahmad bin Abil Hawari, dan syekh-syekh lainnya.
Keenam,
juga termasuk doktrin ajaran tasawuf adalah apa yang mereka namakan
sebagai suatu keadaan atau tingkatan yang jika seseorang telah mencapainya, dia
akan terlepas dari kewajiban melaksanakan syariat Islam.
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah ketika ditanya tentang sekelompok orang yang mengatakan
bahwa diri mereka telah terlepas dari kewajiban melaksanakan syariat, ia
menjawab, “Tidak diragukan lagi – menurut pandangan orang-orang yang berilmu
dan orang-orang yang beriman – bahwa ucapan ini termasuk kekufuran yang paling
besar, bahkan ucapan ini lebih buruk daripada ucapan orang-orang Yahudi dan
Nasrani karena mereka mengimani sebagian (isi) kitab suci mereka dan
mengingkari sebagian lainnya. Mereka itulah orang-orang kafir yang sebenarnya
dan mereka juga membenarkan perintah dan larangan Allah ‘azza wa jalla, meyakini
janji dan ancaman-Nya.” [5]
B.
Kritik
terhadap Aliran - Aliran dalam Ajaran Tasawuf
Ajaran tasawuf yang ekstrem dibagi menjadi tiga aliran, yaitu:
1.
Aliran
Al-Isyraqi. Aliran ini didominasi oleh ajaran filsafat bersama sifat
zuhud. Ajaran ini sebenarnya ada pada setiap sekte-sekte tasawuf, tetapi ajaran
ini hanya sebatas pada penyimpangan ini dan tidak membawa mereka pada ajaran Al-hulul
(menitisnya Allah ’azza wa jalla ke dalam diri makhluk-Nya) dan
Wihdatul Wujud (bersatunya wujud Allah ’azza wa jalla dengan
wujud makhluk atau Manunggaling Gusti ing Kawulo – Mahasuci Allah dari
apa yang mereka sifatkan).
2.
Sekte
Al-hulu dan ittihad. Artinya, Allah menduduki seluruh bagian bumi,
baik di lautan, pegunungan bukit-bukit, pepohonan, manusia, hewan dan
sebagainya. Dengan kata lain, makhluk adalah Khaliq itu sendiri. Semua yang
dapat diraba dan dapat dilihat di alam imi merupakan Dzat Allah dan
diri-Nya.Mahasuci Allah dari semua itu.[6]
keyakinan ini diserukan oleh beberapa tokoh ekstrem ahli tasawuf, seperti
Hasan bin Manshur Al-Hallaj, sehingga para ulama memfatwakan kafir orang ini
dan mengharuskannya dihukum mati. Beliau adalah tokh besar dan popular di
kalangan ahli tasawuf. Ia meyakini dualism hakikat ketuhanan dan beranggapan
bahwa Al-Ilah (Allah ‘azza wa jalla) memiliki dua tabiat, yaitu Al-Lahut
(unsure atau sifat ketuhanan) dan An-Nasut (unsure atau sifat
kemanusiaan), kemudian Al-Lahut menitis ke dalam An-Nasut . Roh manusia – menurut Al-Hallaj
adalah Al-Lahut ketuhanan yang sebenarnya dan badan manusia itu adalah An-Nasut.
Al-Hallaj pun akhirnya dibunuh dan disalib pada tahun 309 H.
3. Sekte Wihdatul Wujud, yaitu
keyakinan bahwa semua yang ada pada hakikatnya adalah satu dan segala sesuatu
yang kita lihat di alam semesta ini merupakan perwujudan atau penampakan Dzat
Illahi (Allah ‘azza wa jalla) – Mahasuci Allah ‘azza wa jalla dari
segala keyakinan kotor mereka. Artinya,
bahwa makhluk adalah aspek lahriyah, sedangkan aspek batin dari segala sesuatu adalah
Allah. Dengan demikian dari segi hakikat tidak ada perbedaan antara khaliq dan
makhluk maka itu karena di lihat dengan pandangan panca indra lahir karena keterbatasan
akal dalam menganggap hakikat yang ada pada Dzatnya dari kesatuan dzatinyah.
Yang semua terhimpun pada-Nya.[7]
Mereka
yang tersesat lagi bodoh tersebut menisbatkan kebohongan dan
kesesatan-kesesatannya kepada paham sufi yang benar. Hal itu karena sirkulasi
kesesatan mereka dan untuk menyesatkan orang awam.
Tokoh dalam
sekte ini adalah Ibnu Arabi Al-Hatimi Ath-Thai yang binasa pada tahun 638 H dan
dimakamkan di Damaskus. Ahli tasawuf memberikan gelar kehormatan yang tinggi
kepadanya, seperti AL-‘Arif Billah (orang yang mengenal Allah ‘azza
wa jalla dengan sebenarnya), Al-Quthb Al-Akbar (pemimpin para wali
yang paling agung), padahal orang ini terang-terangan memproklamasikan keyakinan Wihdatul Wujud dan
keyakinan-keyakinan kufur dan rusak lainnya, seperti pujian dia terhadap
Fir’aun dan keyakinannya bahwa Fir’aun mati diatas keimanan, celaan dia
terhadap Nabi Harun a.s. yang mengingkari kaumnya yang menyembah anak sapi – yang
semua ini jelas-jelas bertentangan dengan nash al-Qur’an-, dan keyakinan dia
bahwa kafirnya orang-orang Nasrani adalah karena mereka hanya mengkhususkan
Nabi ‘Isa a.s. sebagai Tuhan. Seandainya tidak mengkhususkannya, mereka tidak
dikafirkan. [8] Mereka yang
tersesat lagi bodoh tersebut menisbatkan kebohongan dan kesesatan-kesesatannya
kepada paham sufi yang benar. Hal itu karena sirkulasi kesesatan mereka dan
untuk menyesatkan orang awam.
C.
Beberapa
Contoh Penyimpangan dan Kesesatan Ajaran Tasawuf
Berikut
akan ditukilkan beberapa ucapan dan keyakinan yang dianggap sesat dan kufur
dari tokoh-tokoh yang sangat diagungkan oleh ahli tasawuf:
1.
Ibnu
Al-Faridh
Yang meninggal
pada tahun 632 H, tokoh besar sufi penganut paham Wihdatul Wujud dan meyakini
bahwa seorang hamba bisa menjadi Tuhan, bahkan – yang lebih kotor lagi – dia menggambarkan
sifat-sifat Tuhannya, seperti sifat-sifat wanita, sampai-sampai dia menganggap
bahwa Tuhannya telah menampakkan diri di hadapan Nabi Adam a.s. dalam bentuk
Hawwa (istri Nabi Adam a.s.).
2.
Ibnu
Arabi
Dalam kitabnya Fushushul
Hikam yang berisi segudang kesesatan dan kekufuran. Dalam kitab ini ia
mengatakan bahwa Rasulullah SAW. yang memberikan kitab ini.
3.
At-Tilmisani
Seorang tokoh
besar Tasawuf, ketika dikatakan padanya bahwa kitab rujukan mereka Fushushul
Hikam bertentangan denagn al-Qur’an,
ia bahkan menjawab, “seluruh isi al-Qur’an adalah kesyirikan, dan
sesungguhnya tauhid hanya ada pada ucapan kami.”
4.
Abu
Yazid Al-Bustami
Yang pernah
berkata, “aku heran terhadap orang yang telah mengenal Allah, mengapa dia
tetap beribadah kepada-Nya?” (dinukil oleh Abu Nu’aim Al-Ashbahani dalam
kitabnya Hilyatul Auliya’ 10/37.
5.
Abu
Hamid Al-Ghazali
Seorang yang
termasuk tokoh-tokoh ahli tasawuf yang paling besar dan tenar, di dalam kitabnya
Ihya’ Ulum Ad-Din, beliau berkata, “pandangan terhadap tauhid jenis
pertama, yaitu pandangan tauhid yang murni. Dalam pandangan ini, anda pasti
akan dikenalkan bahwa Dialah yang bersyukur dan disyukuri, dan Dialah yang
mencintai dan dicintai adalah pandangan orang yang meyakini bahwa tidaklah ada
di alam semesta ini, melainkan Dia (Allah ‘azza wa jalla).”
6.
Asy-Sya’rani
Seorang tokoh
besar tasawuf yang telah menulis sebuah kitab yang berjudul Ath-Thabaqat
Al-Kubra, yang memuat biografi tokoh-tokoh ahli tasawuf dan kisah-kisah
(kotor) yang dianggap oleh ahli tasawuf sebagai tanda kewalian. Di antaranya
kisah seorang wali yang bernama Ibrahim Al-‘Uryan, orang ini apabila naik
mimbar dan berceramah selalu dalam keadaan telanjang bulat. [9]
D.
Latar
Belakang Kritik terhadap Tasawuf
Ada
beberap asumsi mengenai latar belakang lahirnya tasawuf dalam Islam. Asumsi
yang dimaksud di sini adalah pendapat yang mengatakan bahwa tasawuf itu
bersumber dari ajaran di luar Islam yang masuk ke dalam dan menjadi ajaran
Islam.[10] Diantara
asumsi tersebut adalah menganggap bahwa ajaran tasawuf merupakan ajaran sesat
dan menyesatkan yang diambil dan diwarisi dari kerahiban Nashrani, Brahma
Hindu, ibadah Yahudi, dan zuhud Budha.
Menurut Sayyid Nur bin Sayyid Ali, kritik
terhadap tasawuf berlatar belakang insiden jejak yang terjadi pada permulaan
abad ke-4 H, ketika aliran-aliran kebatinan, Syi’ah, Qaramithah, dan kafir
zindik memanfaatkan tarekat-tarekat sufisme. Mereka menyebabkan Islam berada
pada kondisi yang berbahaya, tetapi sesungguhnya tak ada kelemahan bagi orang
sufi. Kejadian itu Ialah Ibnu Saba’, orang berdarah Yahudi memanfaatkan cinta
Ahl Al-Bait sebagai tipu daya. Dia menyebarkan benih fitnah dan perang sipil
yang menyebabkan wafatnya Khalifah Utsman bin Affan r.a. dan gugurnya sekitar
10.000 orang sahabat dantabi’in sebagai syahid. Peristiwa tersebut tidak ada
kelalaian Ahl Al-Bait dan kecintaan terhadap Ali r.a. Demikian pula, paham
tasawuf tidak boleh dicemari dengannya. Tasawuf tidak ada kaitannya
dengan fitnah tersebut.
Pada permualaan abad ke-7 H, sekelompok kafir
zindik dan ahli-ahli bid’ah menyelinap masuk kebarisan orang-orangberpaham
sufi. Oleh karena itu, mereka menebarkan akidah-akidah syirik ndan
perbuatan-perbuatan bid’ah atas nama agama. Mereka yang tersesat lagi bodoh
tersebut menisbatkan kebohongan dan kesesatan-kesesatannya kepada paham sufi
yang benar. Hal itu karena sirkulasi kesesatan mereka dan untuk menyesatkan
orang awam.[11]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Tasawuf
merupakan hasil kebudayaan islam sebagaimana ilmu-ilmu keislaman lainnya,
seperti fiqh dan ilmu tauhid. Sehingga ilmu tasawuf tidak terlepas dari
berbagai kritikan dari berbagai golongan yang menentangnya. Mulai dari prinsip
– prinsip dasar ajaran tasawuf yang menyimpang dari petunjuk Al-Qur’an dan
As-sunnah sampai aliran-aliran dalam ajaran tasawuf yang meliputi aliran Al-Isyraqi,
sekte Al-hulu dan ittihad serta
sekte Wihdatul Wujud tidak luput
dari kritikan. Beberapa ucapan dan keyakinan dianggap sesat dan kufur dari
tokoh-tokoh yang sangat diagungkan oleh ahli tasawuf.
Berdasarkan
latar belakang kritik terhadap tasawuf, kita tidak bisa menyalahkan sepenuhnya
ajaran para sufi juga terhadap kritikus. Justru dengan adanya kritikan terhadap
tasawuf memberi kita pengajaran untuk meluruskan niat dalam beribadah dan bijak
menanggapi ajaran yang ada.
B.
Kritik dan Saran
Penyusun
menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna. Untuk itu, kritik dan
saran yang membangun sangat penulis butuhkan untuk perbaikan kedepannya. Semoga
makalah ini dapat dimanfaatka sebagai mana mestinya.
DAFTAR PUSTAKA
Khan,Wahiduddin.
1989. Kritik Terhadap Ilmu Fiqih, Tasawuf, dan Ilmu Kalam. Jakarta:Gema
Insani Press.
Anwar, Rosihon. 2010. Akhlak Tasawuf.
Bandung: CV PUSTAKA SETIA.
Asmaran. 2002. Pengantar Studi
Tasawuf. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
http://tapsikusuka.blogspot.com/2013/05/studi-kritis-terhadap-aliran-aliran.html?m=1
Diakses pada 07 Mei 2016 pukul 09.00 WIB
http://rizal12315.blogspot.com/2015/01/studi-kritis-terhadap-tasawuf.html?m=1
Diakses pada 07 Mei 2016 pukul 09.00
[1] Wahiduddin
Khan, Kritik Terhadap Ilmu Fiqih, Tasawuf, dan Ilmu Kalam, (Jakarta:Gema
Insani Press, 1986), hlm 42
[2] Rosihon Anwar,
Akhalak Tasawuf, (Bandung: CV
PUSTAKA SETIA, 2010),hlm.322
[3] Ibid,
hlm.323-325
[4] Wahiduddin
Khan, op cit., hlm 41
[5] Rosihon Anwar,
op cit., hlm. 327-329
[6] http://tapsikusuka.blogspot.com/2013/05/studi-kritis-terhadap-aliran-aliran.html?m=1 Diakses pada 07 Mei 2016 pukul
09.00 WIB
[7] http://rizal12315.blogspot.com/2015/01/studi-kritis-terhadap-tasawuf.html?m=1 Diakses pada
07 Mei 2016 pukul 09.00
[8] Rosihon Anwar, op cit.,
hlm. 329-331
[9] Rosihon Anwar,
op cit., hlm.331-334
[10] Asmaran, Pengantar Studi Tasawuf, (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2002), hlm 181
[11] http://tapsikusuka.blogspot.com/2013/05/studi-kritis-terhadap-aliran-aliran.html?m=1 Diakses pada 07 Mei 2016 pukul
09.00 WIB
Comments
Post a Comment